
Laut Merah bukan hanya lintasan maritim strategis yang menghubungkan Eropa dan Asia melalui Terusan Suez, tapi juga merupakan ekosistem laut yang luar biasa unik. Terletak di antara pesisir timur Afrika dan Semenanjung Arab, laut ini menyimpan banyak misteri dan keajaiban ilmiah, dari kondisi fisik yang ekstrem hingga keanekaragaman hayati yang tinggi. Artikel ini mengupas sisi ekologis Laut Merah berdasarkan berbagai penelitian ilmiah terkini.
Apakah Laut Merah Berwarna Merah? Membedah Asal Nama yang Menyesatkan
Meskipun namanya Laut Merah, airnya sebenarnya berwarna biru seperti laut pada umumnya. Nama ini kemungkinan besar tidak merujuk pada warna laut yang sebenarnya, melainkan berasal dari beberapa faktor historis dan ilmiah. Salah satu penjelasan ilmiah menyebutkan bahwa warna kemerahan kadang muncul secara temporer akibat blooming algae dari golongan cyanobacteria seperti Trichodesmium erythraeum, yang dalam jumlah besar bisa memberi semburat merah-coklat di permukaan laut, terutama saat suhu tinggi dan kadar nutrien meningkat. Namun, fenomena ini sangat jarang dan bersifat lokal. Penjelasan lainnya datang dari sistem penamaan geografis kuno di mana warna digunakan untuk mewakili arah mata angin “merah” merujuk ke selatan dalam budaya Mesir Kuno. Ada juga teori yang menyebut bahwa nama tersebut berasal dari pegunungan batu berwarna kemerahan yang mengelilingi laut, terutama di wilayah barat Arab Saudi dan Sudan, yang saat matahari terbenam bisa memberi pantulan cahaya kemerahan di atas air. Dengan demikian, nama “Laut Merah” lebih mencerminkan faktor simbolik dan visual ketimbang kondisi fisik airnya.
Salinitas Tinggi: Fenomena Laut Tanpa Sungai
Tidak seperti laut-laut besar lainnya, Laut Merah hampir tidak menerima aliran air tawar dari sungai besar. Hal ini menyebabkan tingkat penguapan yang tinggi dan menjadikan Laut Merah sebagai salah satu laut paling asin di dunia. Salinitas permukaannya dapat mencapai lebih dari 40 psu (practical salinity units), jauh di atas rata-rata kadar garam laut lainnya. Salinitas air laut ditentukan oleh beberapa proses, termasuk aliran air sungai, bertambah dan berkurangnya lapisan es benua, pembentukan es laut, serta keseimbangan antara penguapan dan presipitasi (curah hujan). Salinitas, bersama dengan suhu, memainkan peran penting dalam menentukan kerapatan air laut, yang pada gilirannya menentukan pola sirkulasi air laut baik dalam skala global maupun regional. Karena itu, salinitas menjadi salah satu parameter kunci dalam merekonstruksi fungsi laut di masa lalu dan hubungannya dengan iklim masa lampau.
Dalam sebuah studi oleh Egyptian Journal of Aquatic Biology & Fisheries, peneliti mengembangkan model regresi yang memprediksi profil salinitas hingga kedalaman 500 meter berdasarkan suhu, waktu, dan lokasi geografis. Hasilnya menunjukkan dinamika salinitas yang kompleks yang berpengaruh terhadap pola sirkulasi laut dan kehidupan biota di dalamnya.
Keanekaragaman Hayati: Surga Bawah Laut yang Tangguh
Laut Merah merupakan salah satu wilayah laut tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Keunikan ekosistemnya menjadikan wilayah ini sebagai rumah bagi berbagai spesies laut, baik yang umum ditemukan di daerah tropis maupun yang memiliki distribusi sangat terbatas. Meskipun begitu, kekayaan ini tidak terlepas dari ancaman eksploitasi dan perubahan lingkungan yang signifikan. Invertebrata laut, seperti spons dan crustacea, tersebar di Laut Merah, meskipun tidak umum seperti kelompok lainnya semacam karang. Beberapa spesies memiliki distribusi yang terbatas, memperlihatkan ciri khas ekologis Laut Merah dibandingkan lautan tropis lainnya. Keberadaan mereka menjadi indikator penting dari kesehatan ekosistem dasar. Ikan-ikan di Laut Merah mengisi hampir seluruh ceruk ekologi. Dari pemakan plankton hingga predator besar, setiap kelompok memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ikan karang menjadi salah satu daya tarik utama, tidak hanya secara ekologis tetapi juga secara visual—menjadikannya destinasi populer bagi penyelam. Namun, keindahan ini juga menarik kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan, termasuk spearfishing, yang membahayakan keberlanjutan spesies. Mamalia laut seperti dugong, penyu, dan paus juga mendiami Laut Merah. Dugong khususnya, merupakan spesies yang rentan terhadap eksploitasi dan kehilangan habitat. Selama abad ke-20, populasi dugong mengalami penurunan drastis akibat penangkapan dan kerusakan habitat lamun. Meskipun beberapa upaya konservasi telah dilakukan, populasi mereka tetap rendah dan sebarannya terbatas.
Ancaman Ekologis: Dari Kapal Kargo Hingga Krisis Iklim
Meski tahan terhadap kondisi alam, ekosistem Laut Merah tetap rentan terhadap gangguan buatan manusia. Salah satu insiden besar terjadi pada 2024, saat kapal kargo Rubymar tenggelam dan melepaskan sekitar 22.000 ton pupuk kimia serta minyak ke laut. Dampaknya mengancam kelestarian terumbu karang, populasi ikan, serta mata pencaharian masyarakat pesisir di Yaman dan sekitarnya.
Selain polusi, perubahan iklim juga menjadi tekanan besar. Kenaikan suhu permukaan laut dan pengasaman laut mengganggu metabolisme karang dan mempercepat pemutihan. Namun, bagian utara Laut Merah, terutama di Teluk Aqaba, menunjukkan potensi sebagai refugia (Tempat perlindungan alami dari tekanan lingkungan), dalam hal ini dari dampak perubahan iklim. Jadi, meskipun perubahan iklim merusak banyak terumbu karang di dunia, karang di Teluk Aqaba bisa bertahan lebih lama dan menjadi harapan untuk masa depan terumbu karang global. Hal ini dijelaskan dalam studi Science of The Total Environment, yang menekankan pentingnya konservasi kawasan tersebut untuk mitigasi dampak perubahan iklim global.
Upaya Konservasi: Menjaga Warisan Laut yang Tak Ternilai
Melihat pentingnya peran ekologis dan ekonomis Laut Merah, langkah konservasi berbasis sains menjadi sangat krusial. Kolaborasi regional antarnegara yang berbatasan dengan Laut Merah—seperti Mesir, Arab Saudi, dan Sudan—diperlukan untuk mengembangkan kerangka kerja pelestarian laut yang terintegrasi. Fokus pada pengurangan stres lokal seperti polusi dan eksploitasi berlebihan harus menjadi prioritas, di samping penelitian lanjutan untuk memahami adaptasi spesies terhadap perubahan lingkungan.
Laut Merah adalah contoh nyata bagaimana alam bisa menawarkan ketahanan dalam keterbatasan, namun juga memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem laut jika dihadapkan pada tekanan manusia yang terus meningkat. Dengan salinitas tinggi, biodiversitas luar biasa, dan karang yang tahan suhu ekstrem, Laut Merah menjadi laboratorium alami yang sangat penting untuk masa depan ilmu kelautan dan konservasi laut global.
Pingback: Misteri Keajaiban Alam di Mesir: Fakta Mengejutkan - Abuba